Antara kamu, Yunisa KD, dan novel-novelnya

Titik Awal

Yunisa KD • Jul 16, 13 • CoretanTidak ada Komentar

In everyone’s life, at some time, our inner fire goes out. It is then burst into flame by an encounter with another human being. We should all be thankful for those people who rekindle the inner spirit. (Albert Schweitzer)

Kalau orang tanya aku, kok aku, lulusan matematika & MBA, kenapa nulis novel, itu panjang ceritanya. Awal yang penuh perjuangan. Jadi, adik-adik yang ditentang ortu karena kalian suka menulis novel, jangan patah semangat ya. Buka jalanmu sendiri!

Aku teringat curhat salah satu murid di almamaterku, SMP Stella Duce 1 Yogyakarta ketika aku mengadakan talk show tahun 2011. Dia cerita, selalu kena marah ortu, nggak boleh pakai komputer buat nulis naskah, dst dst. Well, my advice to him was: tulis tangan aja naskahmu di kertas, lembar demi lembar, kumpulin, sisihkan uang jajan buat bayar jasa pengetikan. Toh di Yogyakarta masih banyak jasa pengetikan. Aku masih ingat reaksi calon pengarang itu… MELONGO hahaha. Pasti tidak ada yang menyangka kalau kakak kelas yang dianggapnya keren ini bakal memberikan solusi.

Aku tahu perjuangan beratnya harus meyakinkan ortu bahwa menulis novel itu bukan kegiatan tidak berguna. Adik-adik, posisiku jauh lebih sulit lho. Keluargaku punya bisnis sendiri (aku diharap mau mewarisi). Aku berpenghasilan dolar (aku adalah anak sombong yang sejak lulus kuliah tidak mau minta duit ortu). Waktu yang kupakai untuk menulis novel kan sebenarnya bisa kugunakan untuk hal-hal yang lebih berguna, misalnya: tidur (biar nggak mata panda). At least, that’s what my mom said to me.

Untungnya, di saat semangatku untuk menerbitkan novel hampir padam, dokter keluarga, Dr Dede Selamat Sutedja, yang berbasis di Singapura, tiba-tiba membalas e-mail-ku (tentang urusan laporan kesehatan Papa) dengan kalimat sakti ini: “Really think you have a word for prose.” *gubrak*

A word fitly spoken is like apples of gold in settings of silver. (Proverbs 25:11)
Terjemahan: Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti apel emas di pinggan perak (Amsal 25:11)

Seperti kutipan yang kutulis di awal entri ini, semangatku langsung berkobar kembali. Kalau dokter yang (seharusnya) bacaannya cuma makalah riset bisa bilang kalau aku berbakat menulis prosa hanya dari e-mail laporan kesehatan yang kutulis (sorry, Pop, aku selalu lapor kalau Papa nggak mau diet), berarti… aku benar-benar berbakat menulis fiksi dong! 😀

Memang sih, zaman sekolah dulu, dari SD sampai kuliah pun, guru-guru bahasa Indonesia dan Inggris selalu memuji karanganku. Tapi kan mereka guru bahasa. Aku selalu menulis sesuai kaidah yang mereka ajarkan. Tapi ini yang bilang kan dokter, yang tidak ada hubungannya dengan nilai bahasaku. Guru-guru kan pasti senang kalau ada murid yang melaksanakan instruksi mereka: begini lho bikin karangan deskripsi, persuasi, narasi, argumentasi… Begini lho cara menulis notulen rapat… Tetapi apa yang didapat dari Dr Dede dengan mengeluarkan pujian serupa? Tidak ada! Aku justru berpikir, mungkin itu namanya Dr Dede dipinjam Tuhan untuk menyemangatiku.

Lalu, aku negosiasi dengan ortu. Kalau aku berhasil menjual naskahku ke penerbit – aku tidak keluar uang satu sen pun dan bukuku diterbitkan oleh penerbit (berarti menurut mereka memang naskahku bagus), apakah aku akan direstui untuk menulis novel-novel selanjutnya? Dan tantangan diterima orang tuaku. Aku pun mengirim naskah novel pertamaku yang sudah ditulis sejak 1999.

Beberapa bulan kemudian, Oktober 2005, ada penerbit yang sore-sore SLJJ untuk mengabariku: naskah akan diterbitkan. I was ecstatic. My best friend even called me from Singapore after she received my SMS.
Aku kembali konfirmasi ke ortuku: “Aku sekarang direstui kan untuk terus nulis novel?”
Mama bilang: “Jangan lupa, menulis novel itu hobi sampingan. Kamu harus fokus dengan pekerjaan yang menghasilkan duit lebih banyak.”
Fair enough. Ini juga kuajarkan ke adik-adik kelas di talk show. Kompromi dengan ortu. Kalau ortu minta kamu harus dapat nilai 8 ke atas, penuhi. Mereka tidak bakal punya alasan untuk melarangmu menulis novel.

I am thankful that God has sent Dr Dede to rekindle my inner spirit. I hope I can pay this forward to all people who want to be a writer, too. Tetap semangat ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Isian wajib ditandai *