Baca tulisan Pak Rektor UIN di sini
Aku setuju sekali dengan filosofi Jawa bahwa agama (dan kepercayaan) itu “ageman”. Aku pertama kali mengenal konsep ini ketika kelas 6 SD, dengan guru favoritku sepanjang masa: alm Pak Pram.
Pak Pram itu agamanya Katolik, beliau setiap hari pasti misa jam 5, jadi beliau tahu hari ini adalah hari perayaan Santo/Santa siapa, dan mengucapkan selamat kepada murid yang namanya memakai nama Santo/Santa itu. Keren banget lah pokoknya. Selama bersekolah di yayasan Katolik dari TK A sampai lulus SMA, guru terkeren ya Pak Pram ini. St. H. Pramana – Stefanus Hadi Pramana. Tanggal lahir hari Natal. Tahun lahir seingatku dekat 1945 kemerdekaan Indonesia (lupa tepatnya, lah wong aku mencuri-curi lihat tanggal lahir beliau dari papan tulis admin di kantor Kepsek SD yang galak hahaha).
Kalau membandingkan tingkat kerajinan beribadah, Pak Pram ini yang bisa menandingi ya nenekku, Mak Hayung, yang juga biston (doa pagi) jam 5 tiap hari.
Sekarang, setelah Mak Hayung dan generasi tua lainnya RIP semua, jam doa pagi digeser ke jam 9. LOL. Aku mau ketawa tapi gak bisa lah wong aku juga bukan tipe yang rajin beribadah seperti emakku dan guruku.
Nah Pak Pram ini juga menganut kepercayaan Kejawen. Kejawen ini menurutku lebih ke aliran budaya/tradisi Jawa yang sangat memanusiakan orang (nguwongke uwong) dan menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Jadi terus terang aku prihatin dan sakit hati kalau ada yang bilang Kejawen itu ilmu sesat, klenik, etc.
Ceritanya, Raden Mas Y – nomor absen tepat di bawahku, yang juga dipilih menduduki jabatan “Pembantu Umum” di kelas itu sudah seminggu timbilen (bintitan/stye). Dan Pak Pram nggak tahan lihat muridnya jadi Kapten Hook, lalu istirahat menyuruh murid ikut ke kantor guru, dikasih air putih di gelas, didoakan, disuruh minum airnya. Besoknya dia sembuh!
Kelas 6 itu aku ketua kelasnya, punya 1 wakil (sudah RIP muda), punya sekretaris dan bendahara, juga 3 pembantu umum untuk membantu menyulaki papan tulis kapur, membagikan buku, mengambil penghapus/kapur/alat kebersihan di kantor TU (tata usaha). Sedangkan tugas ketua kelas itu lebih komunikatif seperti memberi aba-aba salam, membujuk guru yang ngambek, mengedarkan temuan barang ke kelas lain. Lah pembantu umum lebih mirip office boy gak sih? Tapi anak jadul mah suka aja kalau boleh berdiri & jalan-jalan di jam pelajaran 🤭
Back to agama itu ageman. Pak Pram menjelaskan UUD 45 Pasal 29 ayat 2
Ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.”
Jadi sebagai orang Jawa Katolik, Pak Pram boleh dong menjalankan tradisi Kejawen. Lah wong intisarinya mengutamakan kemanusiaan yang tinggi (kasih terhadap sesama manusia). It made sense to 11-year-old me. Pak Pram juga rajin puasa mutih, kayak both nenekku. Pokoknya Pak Pram itu spiritually jempolan.
Nah baru-baru ini salah satu cici cantik yang jago baking/masak di Instagram tiba-tiba pamer kalau dia pindah agama dari minoritas ke mayoritas. Padahal saat dia cerai, banyak ibu-ibu yang bersimpati karena dia terlihat proper, strong single mother.
Yang jelas, dia “lumayan emosional” dalam membalas komentar orang yang komentar, pamit unfollow, dan/atau mengingatkan agama itu seharusnya jangan dipamer-pamerkan. Coba dibalik, seleb yang pindah dari agama mayoritas ke minoritas. Panen hujatan, job berkurang banyak, dst. Makanya biasanya memang yang pindah agama jadi minoritas gak bakal pamer.
Harapan followers-nya itu aku ngerti. Mbok ya dia kan pernah merasakan jadi minoritas. Nek pindah agama ke mayoritas ya gak perlu koar-koar. Ada followers yang suudzon: oh mungkin pindah agamanya disiarkan biar jumlah followers naik karena mayoritas kan suka yang beginian 🧐 Jumlah followers ybs memang jadi naik banyak, dan yang memuja-muji juga khas mayoritas.
Aku termasuk yang follow her accounts bukan karena agama. Cici lain yang juga jago baking sampai posting di Story bahwa menurut dia, agama itu seperti maaf, alat kelamin. Jangan dipamerkan, saru, basa Jawanya. Well… untuk orang Indonesia, ini ada benarnya. Hubungan intim dengan Tuhan/Sang Khalik/Higher Being itu sangat pribadi.
Si cici cantik ini waktu cerai Nov 2018 dan omanya meninggal, katanya sempat depresi mayor. Follower lain kepo dan bilang Sep 2018 dia masih posting baking untuk suami. Lalu si cican bilang sudah 5 tahun kepengin pindah agama. Lah berarti dari sebelum cerai – awal 2018? Tambah bingung aku baca curhatan dia hahaha. I just can’t understand her logically using the above timeline/chronology. Jadi bukan karena cerai terus pindah agama?
Jika selama menikah dia bilang tertekan harus izin suami untuk posting di media sosial, kalau pindah ke agama mayoritas itu bukannya malah lebih patriarkis ya? Soalnya teman beragama mayoritas yang berprofesi guru “tersesat di jalan yang benar” sering menyoroti ketidaksetaraan gender di agamanya, yang bikin dia dan kedua putrinya mangkel. Apalagi doktrin bidadari, bikin beliau sekeluarga misuh-misuh hahaha. Lah teman lain yang cowok yang seagama juga misuh-misuh soal ini. Memang great minds think alike.
Aku selama hamil berturut-turut juga sempat depresi. Tapi beda jauh ya outcome depresinya. Aku jadi makin sinis terhadap pemuka agamaku, terutama para istri pendeta, tetapi makin kagum dengan umat biasa seperti Tante Jo & nenekku.
Aku makin sadar komitmenku sebagai ibu untuk melindungi anak-anakku juga secara spiritual. I think it was the highest conscience I achieved. I had to give chance for my then unborn baby to know Jesus, same as what my parents had given me that privilege.
Aku juga makin percaya dan sampai mati gak bakal berubah: hotline minta tolong cuma 3 kata: Tuhan Yesus, tolong! He will straight away help, Dia udah tau itu urgent, emergency, langsung pergi iblisnya. Tidak ada kekuatan lain yang sehebat Tuhan Yesus.
Alm Mak Hayung dulu bilang: ikut Tuhan Yesus itu ati ayem tentrem, damai sejahtera. I wonder why seleb baking ini kok tidak merasakannya?
Makku dulu itu hidupnya lebih berat, lah wong lahir zaman perang. Diajak mama ke gereja setelah engkong meninggal relatif muda, baru 64?, emak 53. Pertama emak merasa terpaksa ke gereja lah wong udah dijemput mantu & anak wedok paling kecil (mamaku). Emak mbatin dalam hati (negative thinking): apa anakku ini mau aku jadi Kristen karena gak mau sembahyang tilik kubur dll kalau aku mati nanti? (Ini pengakuan beliau ke mamaku). Tambah lama nenek malah merasa luar biasa damai setiap ke gereja. Padahal FYI, gerejaku di Yogya itu tipe karismatik, suka nyanyi jerit-jerit, lampu sorot ala diskotik! Kok emak bisa merasa damai ya? 😛
Ada satu pesan dari follower yang orang Jawa tentang agama itu ageman.

Mak Hayung itu tadinya Konghucu dengan segala adat sembahyangan. Iman Kristen dan Konghucu beda jauh soal prinsip kehidupan setelah kematian. Mungkin sekarang Mak tidak ketemu suaminya di Surga? (Karena tidak ada suami-istri di Surga). Tetapi Mak menerima teori ini dengan legowo, padahal aku tau betapa Mak Hayung cinta Kong. Mak selalu bilang ke aku kecil: di Surga nanti kita kerjaannya nyanyi-nyanyi muji Tuhan, Nia.
Sebagai penutup, mungkin Mak Hayung termasuk yang dipanggil dan dipilih. Kalau aku sudah jelas termasuk yang dipanggil, tetapi aku akan tetap setia biar sampai mati juga termasuk yang dipilih.
BTW ini konsep berat untuk dipahami. Dipanggil itu artinya mendapat kesempatan mengenal Tuhan Yesus. Ada yang mendapat kesempatan kenalan lebih awal, lebih elite (by invitation). Kayak aku, lahir di keluarga Kristen, dididik dengan baik secara Kristen. Sementara agar “dipilih”, kamu harus tetap menghormati tuan rumah yang memanggil/mengundang, ikut aturan pestanya (silakan baca perikop tentang perumpamaan di Matius 22 tentang undangan pesta dari raja).

Anyway, Mak Hayung tidak pernah menjelek-jelekkan bekas “ageman” 50+++ tahun lebih selama sisa hidupnya <40 tahun dengan “ageman” baru. Semoga cican yang hijrah ini juga tidak menjelek-jelekkan agama lama. Aku sih pesimis karena bawaanku sejak menikah selalu negative thinking first, prove me wrong then! Dasar mathematician selalu minta pembuktian haha 😎
Tag:Christianity