Pertanyaan klise?
Secara pendidikan, aku berhasil dengan usaha sendiri 100% masuk ke National University of Singapore di zaman aku belum kenal email, dan mahasiswa internasional cuma 2%. Selama kuliah, aku sempat meraih Dean’s List (top 2% fakultas Science) padahal jurusanku Matematika, sebenarnya aku merasa salah pilih.

Selama kuliah, aku sudah menghasilkan $$ sendiri dari menerjemahkan, mengajar bahasa Indonesia ke bule dan staf yang akan dikirim ke Indonesia. Aku tidak pernah kerja fisik, kerjanya otak semua, jadi $$ part time job nya lumayan gede. Sementara cousins di Amerika, ada yang pernah jadi waitress, ada yang jadi loper koran dan menelepon Oma minta dikirimi 15 ribu dolar di zaman krismon Pak Harto buat beli mobil Honda. By the way, sekretaris suami Oma itu yang memberitahuku soal cousin dan memarahiku kenapa aku kalah “pinter” (Yunisa klub anti menjilat dan mengemis).
Sejak lulus S1, aku tidak pernah minta duit ortu. Papaku selalu menghardik para sepupu yang mencoba “menjelek-jelekkanku” di depan alm Oma. “Anakku S2 pakai duit sendiri. Mandiri! Setelah lulus kuliah, gak pernah minta duit orang tua!”
Secara karier, aku di-headhunt masuk ke Apple dan Google. Padahal awal 2009 itu belum ada Linked-in. Ada teman kuliah meminta resume-ku, lalu tim Apple langsung suka dengan background-ku: English educated mathematician/Indonesian novelist. Kombinasi langka? Otak kanan-kiri seimbang?
Kalau orang mungkin juga ada yang bakal bilang: pencapaian terbesar wanita adalah menjadi ibu/istri, aku tidak merasakan hal yang sama. Aku lebih merasa jadi ibu/istri itu tugas/duty. Astaganaga, I sound like Prince Philip! Service and duty above all.
Jadi, apa pencapaian terbesarmu, Yunisa?
Well, kata “terbesar” atau paling maksimal itu ada 2 macam: absolute/global max (lifetime) atau relative/local max (to-date). 🤣 You can take the girl out of the trailer park, but you can’t take the trailer park out of the girl. Change “trailer park” to “mathematics” 😎

Karena aku masih hidup, aku tidak bisa menjawab global max/maks absolut. Capaian terbesar to-date (local/relative max) adalah aku selalu menjadi diri sendiri, yang setia memegang teguh asas kepercayaan terhadap Tuhan YME dan diri sendiri (sejak kenalan sama P4 zaman SD). Aku keras (stubborn), bonek (courageous), daya juang tinggi untuk bertahan di jalan yang benar meski dikeroyok, difitnah, dimusuhi, aku tetap berdiri tegak dengan sombongnya, karena Tuhanlah kekuatanku.
Know-how: piano vs organ
I know exactly what I want for my children from my own childhood experience: learn piano first before switching to other musical instruments. Mulailah dari piano. Meski Dr Dede bilang perhaps Gloria should start with Electones when I complain about drama belajar Pianoforte1. Dipencet gak bunyi. Ketukannya salah terus. “Ode of Cry” instead of “Ode of Joy”…

Organ vs piano ini aku lebih paham 😇 soalnya aku mulai dari organ/electones. Dan dasarnya beda banget… organ itu hafal chord C, F, G, G7, D7, Dm, Am, E, Em, etc. Very good at rhythm. Tapi kecepatan baca not balok antara kunci G dan kunci F jadi jomplang… I struggle when I tried to master piano. I struggle reading partitures when playing church hand-bells… Stabilo adalah sahabat terbaik untuk menandai not yang harus kumainkan 😅
I observe and learn. Dari drama anak wedok di Pianoforte1, aku tau kekuatan jari sangat penting. Jadi anak lanang mendapat push-start banyak. Jari dikuatkan dulu. Belajar not balok bersama kakak yang digembleng mama galak. Baru dileskan setelah anak ke-2 lebih siap fisik dan mental.
Hasilnya, aku lumayan kagum: bulan ke-4 les, tinggal 2 lagu lagi Greg sudah kelar Pianoforte1. Dia juga bisa main lagu ganti tangga nada tanpa diajari! Anak zaman now bikin ibu takjub. Meski aku harus jelasin: kalau ganti tangga nada mesti inget “yang hitam apa” – mol, cres. But come on, 6-year-old me was still unable to do what Greg is doing now! Aku baru les organ kelas 3 akhir. By kelas 6, aku sudah Step 6. By SMP, aku malas latihan dan malah melatih diri main lagu film silat, Judge Bao, (Shanghai) Bund, White Snake Legend, To Liong To, embuh apa lagi bukuku organ beserta seluruh catatan pensilku sudah dihilangkan Mama 😭
On the other hand, anak lanang itu gak bisa disuruh disiplin. Anak wedok lebih manutan sekarang. Greg itu suka-suka sendiri latihannya. Kakaknya latihan lagu Pianoforte 3, dia juga ikutan (karena suka lagunya?). Both kids suka ngetes aku tentang simbol-simbol musik (aku masih ingat samar-samar), “Mama ayo main lagu cicik!” tapi aku gak boleh latihan dulu. Menyebalkan lah punya 2 anak pintar dan sombong.
Suami itu tidak punya latar musik sama sekali. Background dia: main game. Dia pasrah kalau aku sudah “membela” anak. Jadi ceritanya kedua anak itu mirip aku: baca partitur saat pertama belajar. Makin dilatih, jari makin ada muscle memory, lama-lama hafal lagunya, tidak baca partitur lagi. Tapi ya memang harus rajin latihan biar dapet muscle memory. Aku jelasin juga ke kedua anak. No latihan, no muscle memory. Lagu ujian wajib lancar hafal mati sampai kalian punya cucu. (Ibu macam apa sudah ngomongin buyut ke anak kelas 1-2 SD?).
Apakah itu prestasi terbaru terbaikku?Another local max? I don’t think so. I am just a proud mom. I feel responsible to guide my kids to their best potential. Remember kids: WORLD CLASS. Just pick one that you are really good at and you enjoy doing it. Sebelum ketemu minat DAN bakat yang berkelas dunia, keep exploring! Tenang, Mama bakal mendorong kalian terus selama Mama masih hidup!
Justru yang kubilang prestasi relatif terbaikku adalah jika ada pembaca yang bilang diri mereka merasa “terbantu”, terhibur setelah membaca tulisanku. Berarti bukan cuma anak yang berhasil kudorong. Orang yang tidak pernah ketemu pun juga terpacu atau jadi good mood. Seperti Kath di Tokyo ketika hamil anak pertama ditemani mamanya, Memory and Destiny jadi hiburan bagi mamanya 😬
Secara pribadi, aku sangat bangga karena berhasil keukeh membuat alm Oma menikmati show air mancur Sentosa zaman masih gratis (termasuk harga tiket masuk Sentosa) & bagus banget… yang notabene itu show melewati jam tidur Oma, mana sempat hujan, bangku basah, dan both cousin n my sis were scared to death. That was like the first and only time I saw my grandma enjoyed herself 100%. I knew I reached my limit – pulang ke hotel naik taxi, mana mungkin naik cable car lagi lah wong sudah malam gelap 🌒⭐️
Other than that, yeah pretty much she was bragging about my academic achievement, how I turned down UGM, being in NUS. It seemed a big deal for our extended family and people around them, somehow. Having me as her granddaughter made her proud and I am glad that she was genuinely happy about my academic achievement. Aku sadar diri kok, aku cucu paling ngeyel, paling nyebelin, gak bisa diatur, berani melawan, gak butuh warisan. I am proud that I loved her unconditionally. That I am sure I will meet her in Heaven.
My maternal grandma claimed me as her best grandchild – despite I often quarreled with various cousins LOL. Dan terbukti, semua cousins yang pernah berantem sama aku itu memang “ya begitulah”…
Gak tau deh mas bojo masih inget apa nggak itu pesan emakku dalam bahasa Jawa. “Kamu harus menjaga cucuku. Iki (megang aku) putuku sing paling apik…” (padahal pujian standar nenek itu cuma: pinter, ayu!)
Bagiku, suami pikun jangan diharap bisa mengingat. Cuma bikin mangkel. Matiin kompor aja lupa. Dua kali lagi. Untung rumah cuma berasap. Mending aku mengingat dan abadikan secara tertulis bahwa nenekku mengakui aku adalah cucu terbaikkkkk – dan itu secara verbal di depan cucunya langsung! (ingat, orang jadul jarang yang mau memuji di depan langsung).
So I guess, aku lumayan sukses jadi cucu bagi kedua nenekku. Yes?
Tag:BPNRamadan2021